SEJARAH EKOLOGI MANUSIA
Ekologi manusia merupakan bagian dari autekologi, suatu ilmu yang mempelajari satu jenis organisme, atau disebut juga ekologi satu jenis makhluk hidup. Di dalamnya dipelajari bagaimana manusia berinteraksi dengan komponen alam, baik secara timbal balik maupun searah (Anwar, 2010).
Ekologi manusia dengan studi tentang hubungan-hubungan dinamika populasi, organisme sosial, dan kebudayaan populasi manusia dengan lingkungan tempat mereka hidup. Dengan kata lain, studi tentang interaksi antara populasi manusia dengan lingkungannya (Sudjadi, 2004).
Ekologi manusia bisa diartikan sebagai studi yang mempelajari bentuk dan perkembangan komunitas dalam sebuah populasi manusia. Ekologi manusia adalah suatu pandangan yang mencoba memahami keterkaitan antara spesies manusia dan lingkungannya (Amos and Gerald, 1994).
Bahasan ekologi manusia tidak terlepas dari kajian ekosistem. Dalam proses ekosistem, manusia beradaptasi dengan semua bentuk lingkungan (LHA, LHB, dan LHS) sesuai dengan kondisi dimana ia berada. Dalam beradaptasi ini manusia mendayagunakan lingkungan untuk tetap survive. Potensi sumber daya alam dieksploitasi dan dikonsumsi untuk memenuhi berbagai kebutuhan pokok hidupnya dengan menggunakan akal. Karena akal inilah manusia menjadi berbudaya. Dari kebudayaannya manusia berilmu pengetahuan, dan dengan ilmu pengetahuannya membuahkan teknologi. Kesatuan ilmu pengetahuan dan teknologi dikenal dengan istilah IPTEK (Kristanto, 2004).
RUANG LINGKUP EKOLOGI MANUSIA
Umbi dari berbagai studi Ekologi Manusia di masa kini sebenarnya telah ditanam sejak tahun 1930-an oleh Julian H. Steward, ketika dia menerbitkan esainya yang berjudul “The Economic and Social Primitive Bands” di tahun 1936. Menurut Harris di dalam esai itulah pertama kali Steward membuat pernyataan yang utuh mengenai “bagaimana interaksi antara kebudayaan dengan lingkungan yang dianalisis dalam kerangka sebab-akibat (in casual terms), tanpa harus terpeleset ke dalam partikularisme.”
Determinisme, “muncul pada akhir abad 19 dan awal-awal abad 20 dari penganut gagasan-gagasan Darwin, penalaran deduktif dan hubungan sebab akibat linear yang sederhana. Pendekatan ini nampaknya juga menghasilkan cara untuk mengolah dan menginterpretasi data mengenai keanekaragaman manusia yang waktu itu semakin bertambah banyak dan membanjiri kalangan ilmiah Eropa. Pendekatan ini berasumsi bahwa lingkungan fisik (alam) adalah pendorong utama dalam kehidupan manusia.
Posibilisme, merupakan “reaksi terhadap determinisme yang mulai membuat kaum Ekologi Manusia mencoba menemukan solusi pendekatan baru yang dalam mengkaji masalah hubungan manusia dengan lingkungan... Posibilisme memandang bahwa walaupun lingkungan mungkin mempengaruhi pola-pola kebudayaan dengan menghadirkan berbagai kendala, tetapi lingkungan sendiri tidak bisa menciptakan fenomena-fenomena sosio-kultural.” “Lingkungan alam tidaklah sederhana begitu saja memaksakan diri mereka terhadap manusia dan perilakunya, tetapi memberi manusia dengan beberapa pilihan dan kemungkinan. Jadi karena itu efek dari lingkungan alam lebih bersifat “membatasi” daripada “menentukan,” dan pembatasan ini bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain dan antara satu masa dengan masa yang lain.
Oleh karena itu, Julian H. Steward mempelopori Cultural Ecology atau ekologi budaya, mengambil posisi tengah antara aliran determinisme dan posibilisme. Steward menolak argumen yang mengatakan bahwa budaya dibentuk oleh lingkungan alam, namun dia juga tidak menempatkan faktor lingkungan pada peranan yang pasif. Steward mendefenisikan lingkungan sebagai “the total web of life wherein all plant and animal species interact with one another and with physical features in a particular unit of territory,” kemudian dia memisahkan manusia dari budaya dalam hubungan mereka dengan lingkungan.